Richie. Dia kucing jantan yang selalu menemani saya.
He was more than a pet.
He always listened to me.
He helped me to forget my problems.
"Hai, Ganteng!" Begitulah sapaan saya kepadanya di suatu pagi. Dia melengos jual mahal. Ah, dia kelihatan tua, padahal umurnya masih sekitar 1,5 tahunan.
***
Saya ingat betapa dia sangat tengil sebagai seekor anak kucing, September 2010 silam, ketika saya mengadopsinya. Kemungkinan umurnya saat itu masih 2 bulan. Dia makin tengil saat awal tahun 2011, sebagai kucing remaja.
Richie menganggap kaki-kaki manusia adalah mainannya. Dia terlihat geli dan sibuk memfokuskan diri -setiap ada seseorang sedang berjalan- pada bagian kaki. Tak jarang orang-orang ngomel karena kakinya ditowel-towel sama Richie, towelan yang lebih tepat disebut cakaran.
Richie tak punya saudara sesama kucing di rumah, makanya dia begitu jahil pada orang-orang. Saya hanya tertawa geli melihatnya.
Pertengahan 2011, dia mulai terlihat tenang. Dia tidak lagi antusias bermain tali yang saya lambaikan di hadapannya. Dia tidak lagi mengincar kaki-kaki orang untuk dicakar. Dia sudah dewasa.
Mendapatinya di rumah dalam keadaan luka di pahanya, membuat saya begitu khawatir. Richie mulai suka keluyuran dan berkelahi dengan kucing jantan liar. Sayangnya, dia di pihak yang kalah. Wajar, karena dia memang tipe kucing rumahan. Khawatir, tetapi alhamdulillah beberapa lama kemudian luka tersebut sembuh dengan sendirinya. Yah, walaupun kejadian seperti itu tak hanya sekali, tapi berkali-kali.
***
Di umurnya yang sekitar 1,5 tahunan ini, dia terlihat tua, dan sakit-sakitan. Badannya mengurus, dia nggak selahap sebelumnya kalau makan.
Dia benar-benar tak 'nakal' lagi. Dia hanya mengeong saat minta makan. Tak seperti sebelumnya, yang bahkan selalu berisik sewaktu-waktu.
Walaupun begitu, Richie masih tetap mendengarkan saya.
Dia kucing terlucu, terhebat, terganteng, yang pernah saya miliki.
Pagi ini saya menemukannya sekarat di bawah kursi tamu. Sebelumnya, saya berniat memberinya makan. Maka saya memanggilnya, "Richie, Richie!"
Nggak ada suara. Saya coba panggil lagi. Lalu ada suara aneh. Seperti Richie, tetapi tidak mengeong seperti biasa. Suara yang bikin merinding :(
Saya mencarinya di kolong-kolong. Saat tiba di ruang tamu, saya sudah mendapatinya tergeletak.
Lihatlah, dia sekarat, tetapi masih berusaha menjawab panggilan saya..
Dengan suara yang sudah susah dan payah dikeluarkan, dia masih menjawab saya..
Ah Richie, betapa sedih melihatmu begitu.. :(
Richie masih mempedulikan saya, bahkan di saat-saat terakhirnya.
Hingga akhirnya dia benar-benar pergi.. :(
Richie..
Can we meet in the afterlife? :'(
No comments:
Post a Comment